a

a

Minggu, 01 Desember 2013

PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN BERAWAL DARI INOVASI


Inovasi, berasal dari kata latin innovation yang berarti pembaharuan. Inovasi ialah suatu perubahan yang baru yang menuju ke arah perbaikan yang lain atau berbeda dari sebelumnya, yang dilakukan dengan sengaja dan berencana.
Ada banyak yang dilakukan manusia dalam menciptakan inovasi demi terciptanya perbaikan di masa yang akan mendatang. Baik itu inovasi dalam penciptaan lapangan pekerjaan, inovasi dalam makanan, inovasi dalam pembangunan rumah, inovasi dalam pendidikan dan masih banyak lagi.Dalam hal ini kita akan membahas inovasi masyarakat dalam mengembangkan kebudayaannya dengan cara akulturasi, yaitu dengan tidak menghilangkan kebudayaan yang aslinya.
Akulturasi dapat dilakukan meskipun tidak semua elemen masyarakat dapat menerima dan melakukannya.Masyarakat yang hidupnya terisolasi biasanya sulit untuk menerima adanya hal baru yang membuat lingkungan alam dan fisik dimana tempat mereka tinggal mereka berubah, sedangkan masyarakat yang hidupnya tidak terisolasi lebih mudah dalam menerima perubahan dikarenakan mereka sudah lebih mengenal adanya teknologi dan inovasi yang membuat mereka lebih terbuka pada hal-hal baru.
Tidak dipungkiri bahwa masyarakat kita lebih mudah beradaptasi dan menerima bahkan lebih mengenal budaya luar seperti K-Pop, J-Pop, dan budaya-budaya barat dibandingkan dengan mengenal lebih jauh warisan budaya bangsa kita sendiri.  Hal tersebut memang cukup memprihatinkan karena negara kita sesungguhnya memiliki sangat banyak warisan budaya yang dapat dikembangkan serta di ekspos ke negara luar dan tidak kalah menariknya.
Sudah banyak  cara yang dilakukan untuk menarik minat masyarakat kita, terutama anak-anak muda untuk berpatisipasi melestarikan kebudayaan Bangsa kita.  Karena kita tahu, bahwa anak-anak muda itu selalu tertarik pada hal-hal yang baru dan akan sangat antusias bila sudah mengetahuinya.
Peran anak-anak muda sangat diperlukan sebagai pewaris selanjutnya dalam melestarikan kebudayaan sebagai identitas bangsa . Hal tersebut juga disebabkan karena mereka mempunyai keterbukaan yang baik dan sikap kritis yang dipelukan untuk menghasilkan perubahan . Mudah bergaul dan beradaptasi dengan orang-orang yang baru, dalam dan luar negeri dapat mempermudah perluasan pengenalan kebudayaan.
Sekarang sangat mudah ditemui contoh dari akulturasi budaya tersebut, misal, sering kita lihat di toko-toko baju dipajang batik yang dipadukan dengan lambang  tim sepak bola, selain dapat melestarikan batik sebagai warisan bangsa, tentu kita juga sekaligus bisa membanggakan tim sepak bola yang kita dukung. Dua hal yang kita suka menjadi satu kesatuan bukan kah itu sangat menyenangkan ?
Contoh lain adalah dimana musik gamelan Bali dipadukan dengan gitar listrik yang menciptakan kesan yang berbeda dan enak untuk didengar. Di genre lain pada tahun 1974  Koes Ploes sendiri merupakan band yang berjasa dalam musik keroncong rock . Pada tahun 2007 Bondan and Fade 2 Black juga membuat lagu yang berjudul “ keroncong protol” yang memadukan musik gaya rap dengan musik berlatar belakang irama keroncong .
Dari beberapa contoh diatas dapat kita lihat,sedikit saja inovasi yang kita lakukan akan sedikit banyak membawa perubahan. Sedikit demi sedikit masyarakat kita ikut berupaya menemukan inovasi yang lain. Membuat perubahan yang dapat membuat Bangsa kita lebih dilihat oleh bangsa-bangsa lain, bahwa kita juga memiliki sesuatu yang dapat kita banggakan bukan hanya menjadi peniru atau hanya bisa melihat budaya negara lain.
 
Kalau bukan dari diri kita sendiri harus dimulai dari siapa ?
 
Mulailah dari hal yang kecil, misalnya menggunakan batik . Menggunakan batik bukan hanya untuk pergi ke acara pernikahan atau ke acara-acara musik di tv saja kan ? , justru hal tersebut menunjukkan kita peduli pada batik yang saat di klaim oleh negara lain kita merasa sangat marah . Lalu kenapa bila ada yang menggunakan ada yang meledek dengan dua hal di atas ?
Sungguh hal tersebut yang membuat kita malu menghargai identitas bangsa kita sendiri. Hilangkan sikap tersebut pada diri kita, sudah seharusnya kita bangga dan ikut melestarikan apa yang negara kita sudah punya .
Sedikit perubahan yang kita lakukan akan berdampak sangat besar apabila dilakukan secara perlahan dan bersama-sama, yakin pada diri kita, dan bangga dengan apa yang kita punya adalah salah satu kuncinya .
 
sumber : http://niluh-ayu.blogspot.com/2013/04/perkembangan-kebudayaan-berawal-dari.html

Jilbab Sebagai Sebuah Simbol

Jilbab telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan bagi umat Islam, baik dari segi nilai religius dan fungsi sebagai penutup aurat bagi Muslimah. Bahkan, jilbab telah menjelma menjadi sebuah simbol umat Islam. Kita masih ingat ketika pemerintah Perancis melakukan pelarangan penggunaan simbol-simbol agama bagi warganya, jilbab merupakan salah satu benda yang dilarang untuk digunakan bagi Muslimah karena dianggap merupakan simbol dari agama Islam.

Menurut C.S. Peirce:
a symbol is a sign which refers to the object that it denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object.’

Dari ide Peirce diatas, jika kita hubungkan, jilbab sebagai sebuah simbol, dapat kita tarik kesimpulan bahwa keberadaaan jilbab sebagai simbol dari Islam merupakan hasil dari pemikiran-pemikiran yang beredar dalam masyarakat umum, baik dari masyarakat Islam maupun non-Islam. Pemikiran ini telah dibangun selama puluhan atau mungkin ratusan tahun yang lalu, di mana seorang perempuan Muslim (khususnya di Arab) pastilah menggunakan jilbab. Pada ahkirnya, orang akan berpikir bahwa, jika seorang perempuan menggunakan jilbab, maka dia pasti orang Islam. Pemikiran inilah yang lambat laun menjadi peraturan tidak resmi yang beredar dalam masyarakat luas, sebagai mana yang dijelaskan oleh teori Peirce diatas. Peirce juga menambahkan bahwa penerjemahan sebuah simbol dilakukan oleh masyarakat berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut: “We interpret symbols according to ‘a rule’ or ‘a habitual connection.” Jadi, walaupun, jilbab telah menjadi sebuah simbol dari Islam, namun keadaaan ini dapat saja berubah jika penerjemahan jilbab sebagai sebuah simbol dilakukan oleh orang/masyarakat yang tidak mengenal jilbab sebagai bagian penting dari umat Islam. Maka jilbab dapat berubah menjadi symbol atau arti yang berbeda pula.

Pertanyaanya sekarang adalah: Benarkah Islam (Muslimah) yang pertama kali memakai jilbab? Apakah hanya orang Islam yang memakai jilbab? Jika ditilik dari sejarah, menurut Nasaruddin Umar, Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri Jakarta, jilbab merupakan fenomena simbolik sarat makna. Jika yang dimaksud jilbab penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan prostitusi tidak boleh menggunakan. Perkembangan selanjutnya jilbab menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan itu.

Ketika terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, rute perdagangan antarpulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi pada masa ini. Kultur Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasania ikut menyentuh wilayah Arab yang tadinya merupakan geokultural tersendiri. Menurut De Vaux dalam Sure le Voile des Femmes dans l’Orient Ancient, tradisi jilbab (veil) dan pemisahan perempuan (seclution of women) bukan tradisi asli bangsa Arab, bahkan bukan juga tradisi Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel, seperti Rebekah yang mengenakan jilbab berasal dari etnis Mesopotamia di mana jilbab merupakan pakaian adat di sana.

Dari uraian ringkas di atas, dapat kita simpulkan bahwa jilbab bukan asli kebudayaan Islam. Walaupun begitu, peranan Islam-lah yang terbesar dalam menyebarkan penggunaan jilbab, dan lambat laun jilbab secara konvensi masyarakat telah menjadi simbol Islam.

Lalu, bagaimana fenomena jilbab di Indonesia? Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata “jalaba”, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijabdi beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman.

Pergeseran makna dari jilbab, juga merupakan hal yang menarik untuk di kaji dari sejarah perkembangan jilbab di Indonesia. Jilbab mulai lazim dipakai di Indonesia sekitar tahun 1980-an, di mana saat itu terjadi peritiwa revolusi besar di Iran ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah. Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veilmenjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia.
Jika kita menggunakan Konsep Triadic Peirce, jilbab pada zaman tersebut dapat di jabarkan sebagai berikut:

Sign Vehicle ——- Jilbab
Sense          ——– Muslim
Referent      ——– Kemenangan Islam     terhadap barat, kebanggaan menjadi orang Islam.
 
Seiring dengan perubahan zaman, walaupun jilbab masih menjadi simbol dari Islam, namun penafsiran terhadap makna jilbab dalam masyarakat Indonesia pun mengalami perubahan. Pada tahun 1990an, jilbab identik dengan perempuan baik-baik  yang santun, ramah, berbudaya. Para penggunanya terbatas pada perempuan kalangan yang tinggi tingkat religiusitasnya. Setelah itu, para ibu-ibu pejabat-pun (diikuti oleh Ibu-ibu pejabat bawahanya)  berlomba-lomba untuk memakai jilbab untuk menciptakan kesan perempuan yang demikian. Bahkan jilbab telah menjadi tren bagi mereka. Akan ganjil rasanya jika melihat istri pejabat yang beragama Islam untuk tidak menggunakan jilbab.
 
Menginjak awal abad ke-21, jilbab telah menjadi sebuah tren dalam dunia mode, dengan modifikasi di sana-sini (bahkan mungkin telah melenceng dari konsep dasarnya), para perempuan eksekutif muda dan para ABG pun nyaman untuk memakainya. Meminjam istilah Dr. Sawirman, saat ini makna jilbab telah mengalamipseudo/false identity (identitas tipuan) , di mana para pengguna jilbab ingin untuk menunjukkan kesan sebagai perempuan baik-baik  yang santun, ramah, berbudaya namun disisi lain mereka bukan perempuan dengan tipe tersebut. Kebutuhan untuk dianggap “baik” di dalam masyarakatlah yang mendorong sebagian perempuan untuk menggunakan jilbab. Perda-perda mengenai peraturan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah pun mulai ramai digalakkan di berbagai daerah, terutama yang mayoritas Muslim penduduknya untuk meningkatkan kesadaran remaja akan ilmu agama dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (efektifkah ini?) Jilbab sebagai simbol Islam telah memberi pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat.So, which do you prefer, the veiled one or not?

sumber : http://periwiklehijab.wordpress.com/2012/03/12/jilbab-sebagai-sebuah-simbol/

PENEMU ROKOK KRETEK DI INDONESIA



hem..apakah anda seorang perokok..apakah anda sudah pernah membaca sejarah ditemukan rokok yang biasa anda hisap..kalo belum musti di baca neh..agar anda tak merasa asing dengan sejarah benda yang selama ini nangkring di bibir kita hampir di setiap saat itu, sebagai mana kita mengenal rokok selama ini ada dua macam yaitu rokok filter dan rokok kretek..



Rokok kretek sendiri pun masih anonim dimana pengertian secara spesifik belum ada, tetapi sebagian masyarakat menganggap bahwa rokok kretek itu menggunakan tembakau asli yang dikeringkan dipadukan dengan cengkeh sehingga ketika dihisap bunyi suara kretek2, yang menjadikan simbol kenikmatan penikmat rokok. Berbeda dengan rokok yang menggunakan tembakau buatan, tidak ada suara dan baunya juga agak keras. Masyarakat sudah memiliki anggapan sendiri. Jenis Cerutu merupakan simbol rokok kretek yang luar biasa, semuanya alami tanpa ada campuran apapun, dan pembuatannya tidak bisa menggunakan mesin. Masih manual tangan pengrajin. Disinilah letak kepuasan tersendiri. Untuk lebih jauh ulasan tentang sejarah perkretekan di Indonesia bermula dari kota kudus.

Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal usul yang akurat tentang rokok kretek. menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu sekitar 1870-1880-an. Awalnya, penduduk asli kudus ini merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Sakitnya reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok.

Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya. Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini menyebar cepat. Permintaan “rokok obat” ini pun mengalir.

Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi “kemeretek“, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan “rokok kretek“. Awalnya, kretek ini dibungkus “klobot” atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10 , tanpa selubung kemasan sama sekali.

Rokok kretek kian dikenal. Namun tak begitu dengan penemunya Djamari diketahui meninggal pada 1890. Siapa dia dan asal-usulnya hingga kini masih remang-remang. Hanya temuannya itu yang terus berkembang. Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus.

Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek “Tjap Bal Tiga“. Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.

Beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok “klobot” (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.

Awal usaha Kretek

Nitisemito sendiri seorang buta huruf, dilahirkan dari rahim Ibu Markanah di desa Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa janggalan. Pada usia 17 tahun ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia ini, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di Kudus.

Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870.

Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor.

Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.

Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo” (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).

Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).

Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta

Ambruknya rokok kretek Bal Tiga dan Munculnya Pesaing

Hampir semua pabrik itu kini telah tutup. Bal tiga ambruk karena perselisihan diantara para ahli warisnya. Munculnya perusahaan rokok lain seperti Nojorono (1940), Djamboe Bol (1937), Djarum (1950), dan Sukun, semakin mempersempit pasar Bal Tiga ditambah dengan pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942 di Pasifik, masuknya tentara Jepang, juga ikut memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada tahun 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada ahli warisnya.

Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut sebut juga karena berdirinya rokok Minak Djinggo pada tahun 1930. Pemilik rokok ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal Tiga di Pati, Jawa Tengah. Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho Djie Siong banyak menarik informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal Tiga dari M. Karmaen, kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu Nitisemito.

Pada tahun 1932, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat memindahkan markasnya ke Kudus. untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan produk baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa perusahaan rokok lain yang mampu bertahan hingga kini seperti rokok Djamboe Bol milik H.A. Ma’roef, rokok Sukun milik M. Wartono dan Djarum yang didirikan Oei Wie Gwan.

Perusahaan rokok kretek Djarum berdiri pada 25 Agustus 1950 dengan 10 pekerja. Oei Wie Gwan, mantan agen rokok Minak Djinggo di Jakarta ini, mengawali bisnisnya dengan memasok rokok untuk Dinas Perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1955, Djarum mulai memperluas produksi dan pemasarannya. Produksinya makin besar setelah menggunakan mesin pelinting dan pengolah tembakau pada tahun 1967.

Di era keemasan Minak Djinggo dan di ujung masa suram Bal Tiga, aroma bisnis kretek menjalar hingga ke luar Kudus. Banyak juragan dan agen rokok bermunculan. Di Magelang, Solo dan Yogyakarta, kebanyakan pabrik kretek membuat jenis rokok klembak. Rokok ini berupa oplosan tembakau, cengkeh dan kemenyan.

Perkembangan industri kretek di daerah di pulau Jawa

Kretek juga merambah Jawa Barat. Di daerah ini pasaran rokok kretek dirintis dengan keberadaan rokok kawung, yakni kretek dengan pembungkus daun aren. Pertama muncul di Bandung pada tahun 1905, lalu menular ke Garut dan Tasikmalaya. Rokok jenis ini meredup ketika kretek Kudus menyusup melalui Majalengka pada 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok kawung di Ciledug Wetan.

Sedangkan di Jawa Timur, industri rokok dimulai dari rumah tangga pada tahun 1910 yang dikenal dengan PT. HM Sampoerna. Tonggak perkembangan kretek dimulai ketika pabrik-pabrik besar menggunakan mesin pelinting. Tercatat PT. Bentoel di Malang yang berdiri pada tahun 1931 yang pertama memakai mesin pada tahun 1968, mampu menghasilkan 6000 batang rokok per menit. PT. Gudang Garam, Kediri dan PT HM Sampoerna tidak mau ketinggalan, begitu juga dengan PT Djarum, Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di Kudus.

Kini terdapat empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di Indonesia; Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing masing. Semua terutapa pabrik rokok besar telah mencatatkan sejarahnya sendiri. Begitu pula dengan Haji Djamari, sang penemu kretek. Namun riwayat penemu kretek ini masih belum jelas. Dan kisahnya hidupnya hanya dekrtahui di kalangan pekerja pabrik rokok di Kudus.

sumber : http://maniakilmu.blogspot.com/2011/09/penemu-rokok-kretek-di-indonesia.html

Perlunya Inovasi dalam Pembelajaran



Apabila kita cermati sebuah inovasi akan menimbulkan konsekuensi, sebuah inovasi jangan dipandang dari sisi negatifnya. Inovasi merupakan hal yang perlu dilakukan dalam pembelajaran. Permasalahan pendidikan sangatlah kompleks,dari masalah sumber daya manusia, mutu, metode, sarana prasarana, media dan sebagainya. Peningkatan mutu pendidikan diperlukan inovasi. Salah satu inovasi yang dilakukan adalah dengan pembelajaran berbasis alam lingkungan. Pembelajarn berbasis alam lingkungan ini cocok untuk pembelajaran sains. Obyek yang dipelajari dalam pembelajaran sains adalah hal-hal yang ada di alam dan lingkungan sekitar baik hayati maupun non hayati. Dengan pemanfaatan alam dan lingkungan, maka siswa dapat meningkatkan pemahaman materi pelajaran karena dapat mengamati secara langsung dan tidak asing dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian siswa lebih tertarik dan termotivasi dalam proses pembelajaran. Santyasa (2005:5) bahwa pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang bersifat student centered yang artinya pembelajaran yang lebih memberikan peluang kepada siswa untuk mengkontruksi pengetahuan secara mandiri  dan dimediasi oleh teman sebaya.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inovatif dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan menciptakan pembelajaran student centered. Menurut Marsaja (2007) keunggulan pembelajaran inovatif adalah
1.      Kualitas hasil belajar yang dicapai menjadi lebih tinggi
2.      Lingkup hasil belajar menjadi komprehensif
3.      Pembelajaran inovatif tidak saja menekankan pada hasil belajar kognitif tetapi juga hasil belajar proses dan sikap.