hem..apakah anda seorang perokok..apakah anda sudah pernah membaca sejarah ditemukan rokok yang biasa anda hisap..kalo belum musti di baca neh..agar anda tak merasa asing dengan sejarah benda yang selama ini nangkring di bibir kita hampir di setiap saat itu, sebagai mana kita mengenal rokok selama ini ada dua macam yaitu rokok filter dan rokok kretek..
Rokok
kretek sendiri pun masih anonim dimana pengertian secara spesifik belum
ada, tetapi sebagian masyarakat menganggap bahwa rokok kretek itu
menggunakan tembakau asli yang dikeringkan dipadukan dengan cengkeh
sehingga ketika dihisap bunyi suara kretek2, yang menjadikan simbol
kenikmatan penikmat rokok. Berbeda dengan rokok yang menggunakan
tembakau buatan, tidak ada suara dan baunya juga agak keras. Masyarakat
sudah memiliki anggapan sendiri. Jenis Cerutu merupakan simbol rokok
kretek yang luar biasa, semuanya alami tanpa ada campuran apapun, dan
pembuatannya tidak bisa menggunakan mesin. Masih manual tangan
pengrajin. Disinilah letak kepuasan tersendiri. Untuk lebih jauh ulasan
tentang sejarah perkretekan di Indonesia bermula dari kota kudus.
Kisah
kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal usul yang akurat
tentang rokok kretek. menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja
pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada
kurun waktu sekitar 1870-1880-an. Awalnya, penduduk asli kudus ini
merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh.
Sakitnya reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan
mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok.
Kala
itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan
modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok
ciptaannya. Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini
kepada kerabat dekatnya. Berita ini menyebar cepat. Permintaan “rokok
obat” ini pun mengalir.
Djamari melayani banyak permintaan rokok
cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan
bunyi “kemeretek“, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan “rokok
kretek“. Awalnya, kretek ini dibungkus “klobot” atau daun jagung kering.
Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10 , tanpa selubung
kemasan sama sekali.
Rokok kretek kian dikenal. Namun tak begitu
dengan penemunya Djamari diketahui meninggal pada 1890. Siapa dia dan
asal-usulnya hingga kini masih remang-remang. Hanya temuannya itu yang
terus berkembang. Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi
dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus.
Bisnis
rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi
terdaftar dengan merek “Tjap Bal Tiga“. Bisa dikatakan langkah
Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di
Indonesia.
Beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok
sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun Haji Djamari dan
Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang
menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh
Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan
Agung menjual rokok “klobot” (rokok kretek dengan bungkus daun jangung
kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu
direkatkan dengan ludahnya.
Awal usaha Kretek
Nitisemito
sendiri seorang buta huruf, dilahirkan dari rahim Ibu Markanah di desa
Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala
desa janggalan. Pada usia 17 tahun ia mengubah namanya menjadi
Nitisemito. Pada usia ini, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk
bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia
mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha
ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai
usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia
kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat
itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di
Kudus.
Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870.
Di warungnya, yang kini menjadi
toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok
temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan
nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung
Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar
warungnya tidak kotor.
Pada awalnya ia mencoba meracik rokok.
Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini
kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat
dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang
keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu
menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan
mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha
ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok
Mangan Ulo” (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki
malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap
Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek
ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi
dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).
Bal
Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun
beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6
hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan
rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil
(gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek
Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek
Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis &
Manggis).
Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000
pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian
untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda.
Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera,
Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif
memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker
seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan
Jakarta
Ambruknya rokok kretek Bal Tiga dan Munculnya Pesaing
Hampir
semua pabrik itu kini telah tutup. Bal tiga ambruk karena perselisihan
diantara para ahli warisnya. Munculnya perusahaan rokok lain seperti
Nojorono (1940), Djamboe Bol (1937), Djarum (1950), dan Sukun, semakin
mempersempit pasar Bal Tiga ditambah dengan pecahnya Perang Dunia II
pada tahun 1942 di Pasifik, masuknya tentara Jepang, juga ikut
memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada
tahun 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada
ahli warisnya.
Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut sebut juga
karena berdirinya rokok Minak Djinggo pada tahun 1930. Pemilik rokok
ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal Tiga di Pati, Jawa Tengah.
Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho Djie Siong banyak menarik
informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal Tiga dari M. Karmaen,
kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu Nitisemito.
Pada
tahun 1932, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat memindahkan
markasnya ke Kudus. untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan
produk baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa perusahaan
rokok lain yang mampu bertahan hingga kini seperti rokok Djamboe Bol
milik H.A. Ma’roef, rokok Sukun milik M. Wartono dan Djarum yang
didirikan Oei Wie Gwan.
Perusahaan rokok kretek Djarum berdiri
pada 25 Agustus 1950 dengan 10 pekerja. Oei Wie Gwan, mantan agen rokok
Minak Djinggo di Jakarta ini, mengawali bisnisnya dengan memasok rokok
untuk Dinas Perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1955, Djarum mulai
memperluas produksi dan pemasarannya. Produksinya makin besar setelah
menggunakan mesin pelinting dan pengolah tembakau pada tahun 1967.
Di
era keemasan Minak Djinggo dan di ujung masa suram Bal Tiga, aroma
bisnis kretek menjalar hingga ke luar Kudus. Banyak juragan dan agen
rokok bermunculan. Di Magelang, Solo dan Yogyakarta, kebanyakan pabrik
kretek membuat jenis rokok klembak. Rokok ini berupa oplosan tembakau,
cengkeh dan kemenyan.
Perkembangan industri kretek di daerah di pulau Jawa
Kretek
juga merambah Jawa Barat. Di daerah ini pasaran rokok kretek dirintis
dengan keberadaan rokok kawung, yakni kretek dengan pembungkus daun
aren. Pertama muncul di Bandung pada tahun 1905, lalu menular ke Garut
dan Tasikmalaya. Rokok jenis ini meredup ketika kretek Kudus menyusup
melalui Majalengka pada 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok kawung
di Ciledug Wetan.
Sedangkan di Jawa Timur, industri rokok
dimulai dari rumah tangga pada tahun 1910 yang dikenal dengan PT. HM
Sampoerna. Tonggak perkembangan kretek dimulai ketika pabrik-pabrik
besar menggunakan mesin pelinting. Tercatat PT. Bentoel di Malang yang
berdiri pada tahun 1931 yang pertama memakai mesin pada tahun 1968,
mampu menghasilkan 6000 batang rokok per menit. PT. Gudang Garam, Kediri
dan PT HM Sampoerna tidak mau ketinggalan, begitu juga dengan PT
Djarum, Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di Kudus.
Kini terdapat
empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di Indonesia;
Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik
kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing masing.
Semua terutapa pabrik rokok besar telah mencatatkan sejarahnya sendiri.
Begitu pula dengan Haji Djamari, sang penemu kretek. Namun riwayat
penemu kretek ini masih belum jelas. Dan kisahnya hidupnya hanya
dekrtahui di kalangan pekerja pabrik rokok di Kudus.
bagus beritanya...
BalasHapus