Jilbab telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan bagi umat Islam, baik dari segi nilai religius dan fungsi sebagai penutup aurat bagi Muslimah. Bahkan, jilbab telah menjelma menjadi sebuah simbol umat Islam. Kita masih ingat ketika pemerintah Perancis melakukan pelarangan penggunaan simbol-simbol agama bagi warganya, jilbab merupakan salah satu benda yang dilarang untuk digunakan bagi Muslimah karena dianggap merupakan simbol dari agama Islam.
Menurut C.S. Peirce:
a symbol is a sign
which refers to the object that it denotes by virtue of a law, usually
an association of general ideas, which operates to cause the symbol to
be interpreted as referring to that object.’
Dari ide Peirce
diatas, jika kita hubungkan, jilbab sebagai sebuah simbol, dapat kita
tarik kesimpulan bahwa keberadaaan jilbab sebagai simbol dari Islam
merupakan hasil dari pemikiran-pemikiran yang beredar dalam masyarakat
umum, baik dari masyarakat Islam maupun non-Islam. Pemikiran ini telah
dibangun selama puluhan atau mungkin ratusan tahun yang lalu, di mana
seorang perempuan Muslim (khususnya di Arab) pastilah menggunakan
jilbab. Pada ahkirnya, orang akan berpikir bahwa, jika seorang perempuan
menggunakan jilbab, maka dia pasti orang Islam. Pemikiran inilah yang
lambat laun menjadi peraturan tidak resmi yang beredar dalam masyarakat
luas, sebagai mana yang dijelaskan oleh teori Peirce diatas. Peirce juga
menambahkan bahwa penerjemahan sebuah simbol dilakukan oleh masyarakat
berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut: “We
interpret symbols according to ‘a rule’ or ‘a habitual
connection.” Jadi, walaupun, jilbab telah menjadi sebuah simbol dari Islam,
namun keadaaan ini dapat saja berubah jika penerjemahan jilbab sebagai
sebuah simbol dilakukan oleh orang/masyarakat yang tidak mengenal jilbab
sebagai bagian penting dari umat Islam. Maka jilbab dapat berubah
menjadi symbol atau arti yang berbeda pula.
Pertanyaanya
sekarang adalah: Benarkah Islam (Muslimah) yang pertama kali memakai
jilbab? Apakah hanya orang Islam yang memakai jilbab? Jika ditilik dari
sejarah, menurut Nasaruddin Umar, Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas
Islam Negeri Jakarta, jilbab merupakan fenomena simbolik sarat makna.
Jika yang dimaksud jilbab penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab
sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut
di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM).
Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti
Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus
menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan
prostitusi tidak boleh menggunakan. Perkembangan selanjutnya jilbab
menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan itu.
Ketika terjadi
perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, rute perdagangan antarpulau
mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan.
Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai
wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif
pengungsian dari daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara
besar-besaran terjadi pada masa ini. Kultur Hellenisme-Byzantium dan
Mesopotamia-Sasania ikut menyentuh wilayah Arab yang tadinya merupakan
geokultural tersendiri. Menurut De Vaux dalam Sure le Voile des Femmes
dans l’Orient Ancient, tradisi jilbab (veil) dan pemisahan perempuan
(seclution of women) bukan tradisi asli bangsa Arab, bahkan bukan juga
tradisi Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel, seperti
Rebekah yang mengenakan jilbab berasal dari etnis Mesopotamia di mana
jilbab merupakan pakaian adat di sana.
Dari uraian ringkas
di atas, dapat kita simpulkan bahwa jilbab bukan asli kebudayaan Islam.
Walaupun begitu, peranan Islam-lah yang terbesar dalam menyebarkan
penggunaan jilbab, dan lambat laun jilbab secara konvensi masyarakat
telah menjadi simbol Islam.
Lalu, bagaimana
fenomena jilbab di Indonesia? Pakaian penutup kepala perempuan di
Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi permulaan
tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata
“jalaba”, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab dalam arti penutup
kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian
sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di
Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di
Irak, charshaf di Turki, hijabdi beberapa negara Arab-Afrika seperti di
Mesir, Sudan, dan Yaman.
Pergeseran makna
dari jilbab, juga merupakan hal yang menarik untuk di kaji dari sejarah
perkembangan jilbab di Indonesia. Jilbab mulai lazim dipakai di
Indonesia sekitar tahun 1980-an, di mana saat itu terjadi peritiwa
revolusi besar di Iran ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza
Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah.
Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat.
Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan
komunitas Black Veilmenjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh
dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak
terkecuali Indonesia.
Jika kita menggunakan Konsep Triadic Peirce, jilbab pada zaman tersebut dapat di jabarkan sebagai berikut:
Sense ——– Muslim
Referent ——– Kemenangan Islam terhadap barat, kebanggaan menjadi orang Islam.
Seiring dengan perubahan zaman, walaupun jilbab masih menjadi simbol dari Islam, namun penafsiran terhadap makna jilbab dalam masyarakat Indonesia pun mengalami perubahan. Pada tahun 1990an, jilbab identik dengan perempuan baik-baik yang santun, ramah, berbudaya. Para penggunanya terbatas pada perempuan kalangan yang tinggi tingkat religiusitasnya. Setelah itu, para ibu-ibu pejabat-pun (diikuti oleh Ibu-ibu pejabat bawahanya) berlomba-lomba untuk memakai jilbab untuk menciptakan kesan perempuan yang demikian. Bahkan jilbab telah menjadi tren bagi mereka. Akan ganjil rasanya jika melihat istri pejabat yang beragama Islam untuk tidak menggunakan jilbab.
Menginjak awal abad
ke-21, jilbab telah menjadi sebuah tren dalam dunia mode, dengan
modifikasi di sana-sini (bahkan mungkin telah melenceng dari konsep
dasarnya), para perempuan eksekutif muda dan para ABG pun nyaman untuk
memakainya. Meminjam istilah Dr. Sawirman, saat ini makna jilbab telah
mengalamipseudo/false identity (identitas tipuan) , di mana para
pengguna jilbab ingin untuk menunjukkan kesan sebagai perempuan
baik-baik yang santun, ramah, berbudaya namun disisi lain mereka bukan
perempuan dengan tipe tersebut. Kebutuhan untuk dianggap “baik” di dalam
masyarakatlah yang mendorong sebagian perempuan untuk menggunakan
jilbab. Perda-perda mengenai peraturan penggunaan jilbab di
sekolah-sekolah pun mulai ramai digalakkan di berbagai daerah, terutama
yang mayoritas Muslim penduduknya untuk meningkatkan kesadaran remaja
akan ilmu agama dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (efektifkah
ini?) Jilbab sebagai simbol Islam telah memberi pengaruh besar dalam
kehidupan masyarakat.So, which do you prefer, the veiled one or not?
sumber : http://periwiklehijab.wordpress.com/2012/03/12/jilbab-sebagai-sebuah-simbol/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar