a
Selasa, 10 Desember 2013
Minggu, 01 Desember 2013
PERKEMBANGAN KEBUDAYAAN BERAWAL DARI INOVASI
Inovasi, berasal dari kata latin
innovation yang berarti pembaharuan. Inovasi ialah suatu perubahan yang baru
yang menuju ke arah perbaikan yang lain atau berbeda dari sebelumnya, yang
dilakukan dengan sengaja dan berencana.
Ada banyak yang dilakukan manusia
dalam menciptakan inovasi demi terciptanya perbaikan di masa yang akan
mendatang. Baik itu inovasi dalam penciptaan lapangan pekerjaan, inovasi dalam
makanan, inovasi dalam pembangunan rumah, inovasi dalam pendidikan dan masih
banyak lagi.Dalam hal ini kita akan membahas
inovasi masyarakat dalam mengembangkan kebudayaannya dengan cara akulturasi,
yaitu dengan tidak menghilangkan kebudayaan yang aslinya.
Akulturasi dapat dilakukan meskipun tidak semua elemen masyarakat dapat menerima dan melakukannya.Masyarakat yang hidupnya terisolasi biasanya
sulit untuk menerima adanya hal baru yang membuat lingkungan alam dan fisik
dimana tempat mereka tinggal mereka berubah, sedangkan masyarakat yang hidupnya
tidak terisolasi lebih mudah dalam menerima perubahan dikarenakan mereka sudah
lebih mengenal adanya teknologi dan inovasi yang membuat mereka lebih terbuka
pada hal-hal baru.
Tidak dipungkiri bahwa masyarakat
kita lebih mudah beradaptasi dan menerima bahkan lebih mengenal budaya luar
seperti K-Pop, J-Pop, dan budaya-budaya barat dibandingkan dengan mengenal
lebih jauh warisan budaya bangsa kita sendiri.
Hal tersebut memang cukup memprihatinkan karena negara kita sesungguhnya
memiliki sangat banyak warisan budaya yang dapat dikembangkan serta di ekspos
ke negara luar dan tidak kalah menariknya.
Sudah banyak cara yang dilakukan untuk menarik minat
masyarakat kita, terutama anak-anak muda untuk berpatisipasi melestarikan
kebudayaan Bangsa kita. Karena kita
tahu, bahwa anak-anak muda itu selalu tertarik pada hal-hal yang baru dan akan
sangat antusias bila sudah mengetahuinya.
Peran anak-anak muda sangat
diperlukan sebagai pewaris selanjutnya dalam melestarikan kebudayaan
sebagai
identitas bangsa . Hal tersebut juga disebabkan karena mereka mempunyai
keterbukaan yang baik dan sikap kritis yang dipelukan untuk menghasilkan
perubahan . Mudah bergaul dan beradaptasi dengan orang-orang yang baru,
dalam dan luar negeri dapat mempermudah perluasan pengenalan
kebudayaan.
Sekarang sangat mudah ditemui
contoh dari akulturasi budaya tersebut, misal, sering kita lihat di toko-toko
baju dipajang batik yang dipadukan dengan lambang tim sepak bola, selain dapat melestarikan
batik sebagai warisan bangsa, tentu kita juga sekaligus bisa membanggakan tim
sepak bola yang kita dukung. Dua hal yang kita suka menjadi satu kesatuan bukan
kah itu sangat menyenangkan ?
Contoh lain adalah dimana musik
gamelan Bali dipadukan dengan gitar listrik yang menciptakan kesan yang berbeda
dan enak untuk didengar. Di genre lain pada tahun 1974 Koes Ploes sendiri merupakan band yang berjasa
dalam musik keroncong rock . Pada tahun 2007 Bondan and Fade 2 Black juga
membuat lagu yang berjudul “ keroncong protol” yang memadukan musik gaya rap
dengan musik berlatar belakang irama keroncong .
Dari beberapa contoh diatas dapat
kita lihat,sedikit saja inovasi yang kita lakukan akan sedikit banyak membawa
perubahan. Sedikit demi sedikit masyarakat kita ikut berupaya menemukan inovasi
yang lain. Membuat perubahan yang dapat membuat Bangsa kita lebih dilihat oleh
bangsa-bangsa lain, bahwa kita juga memiliki sesuatu yang dapat kita banggakan
bukan hanya menjadi peniru atau hanya bisa melihat budaya negara lain.
Kalau bukan dari diri kita
sendiri harus dimulai dari siapa ?
Mulailah dari hal yang kecil,
misalnya menggunakan batik . Menggunakan batik bukan hanya untuk pergi ke acara
pernikahan atau ke acara-acara musik di tv saja kan ? , justru hal tersebut
menunjukkan kita peduli pada batik yang saat di klaim oleh negara lain kita merasa
sangat marah . Lalu kenapa bila ada yang menggunakan ada yang meledek dengan
dua hal di atas ?
Sungguh hal tersebut yang membuat kita malu menghargai identitas bangsa kita sendiri. Hilangkan sikap tersebut pada diri kita, sudah seharusnya kita bangga dan ikut melestarikan apa yang negara kita sudah punya .
Sungguh hal tersebut yang membuat kita malu menghargai identitas bangsa kita sendiri. Hilangkan sikap tersebut pada diri kita, sudah seharusnya kita bangga dan ikut melestarikan apa yang negara kita sudah punya .
Sedikit perubahan yang kita
lakukan akan berdampak sangat besar apabila dilakukan secara perlahan dan
bersama-sama, yakin pada diri kita, dan bangga dengan apa yang kita punya
adalah salah satu kuncinya .
sumber : http://niluh-ayu.blogspot.com/2013/04/perkembangan-kebudayaan-berawal-dari.html
Jilbab Sebagai Sebuah Simbol
Jilbab telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan bagi umat Islam, baik dari segi nilai religius dan fungsi sebagai penutup aurat bagi Muslimah. Bahkan, jilbab telah menjelma menjadi sebuah simbol umat Islam. Kita masih ingat ketika pemerintah Perancis melakukan pelarangan penggunaan simbol-simbol agama bagi warganya, jilbab merupakan salah satu benda yang dilarang untuk digunakan bagi Muslimah karena dianggap merupakan simbol dari agama Islam.
Menurut C.S. Peirce:
a symbol is a sign
which refers to the object that it denotes by virtue of a law, usually
an association of general ideas, which operates to cause the symbol to
be interpreted as referring to that object.’
Dari ide Peirce
diatas, jika kita hubungkan, jilbab sebagai sebuah simbol, dapat kita
tarik kesimpulan bahwa keberadaaan jilbab sebagai simbol dari Islam
merupakan hasil dari pemikiran-pemikiran yang beredar dalam masyarakat
umum, baik dari masyarakat Islam maupun non-Islam. Pemikiran ini telah
dibangun selama puluhan atau mungkin ratusan tahun yang lalu, di mana
seorang perempuan Muslim (khususnya di Arab) pastilah menggunakan
jilbab. Pada ahkirnya, orang akan berpikir bahwa, jika seorang perempuan
menggunakan jilbab, maka dia pasti orang Islam. Pemikiran inilah yang
lambat laun menjadi peraturan tidak resmi yang beredar dalam masyarakat
luas, sebagai mana yang dijelaskan oleh teori Peirce diatas. Peirce juga
menambahkan bahwa penerjemahan sebuah simbol dilakukan oleh masyarakat
berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut: “We
interpret symbols according to ‘a rule’ or ‘a habitual
connection.” Jadi, walaupun, jilbab telah menjadi sebuah simbol dari Islam,
namun keadaaan ini dapat saja berubah jika penerjemahan jilbab sebagai
sebuah simbol dilakukan oleh orang/masyarakat yang tidak mengenal jilbab
sebagai bagian penting dari umat Islam. Maka jilbab dapat berubah
menjadi symbol atau arti yang berbeda pula.
Pertanyaanya
sekarang adalah: Benarkah Islam (Muslimah) yang pertama kali memakai
jilbab? Apakah hanya orang Islam yang memakai jilbab? Jika ditilik dari
sejarah, menurut Nasaruddin Umar, Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas
Islam Negeri Jakarta, jilbab merupakan fenomena simbolik sarat makna.
Jika yang dimaksud jilbab penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab
sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut
di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM).
Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti
Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus
menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan
prostitusi tidak boleh menggunakan. Perkembangan selanjutnya jilbab
menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan itu.
Ketika terjadi
perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, rute perdagangan antarpulau
mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan.
Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai
wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif
pengungsian dari daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara
besar-besaran terjadi pada masa ini. Kultur Hellenisme-Byzantium dan
Mesopotamia-Sasania ikut menyentuh wilayah Arab yang tadinya merupakan
geokultural tersendiri. Menurut De Vaux dalam Sure le Voile des Femmes
dans l’Orient Ancient, tradisi jilbab (veil) dan pemisahan perempuan
(seclution of women) bukan tradisi asli bangsa Arab, bahkan bukan juga
tradisi Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel, seperti
Rebekah yang mengenakan jilbab berasal dari etnis Mesopotamia di mana
jilbab merupakan pakaian adat di sana.
Dari uraian ringkas
di atas, dapat kita simpulkan bahwa jilbab bukan asli kebudayaan Islam.
Walaupun begitu, peranan Islam-lah yang terbesar dalam menyebarkan
penggunaan jilbab, dan lambat laun jilbab secara konvensi masyarakat
telah menjadi simbol Islam.
Lalu, bagaimana
fenomena jilbab di Indonesia? Pakaian penutup kepala perempuan di
Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi permulaan
tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata
“jalaba”, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab dalam arti penutup
kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian
sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di
Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di
Irak, charshaf di Turki, hijabdi beberapa negara Arab-Afrika seperti di
Mesir, Sudan, dan Yaman.
Pergeseran makna
dari jilbab, juga merupakan hal yang menarik untuk di kaji dari sejarah
perkembangan jilbab di Indonesia. Jilbab mulai lazim dipakai di
Indonesia sekitar tahun 1980-an, di mana saat itu terjadi peritiwa
revolusi besar di Iran ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza
Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah.
Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat.
Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan
komunitas Black Veilmenjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh
dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak
terkecuali Indonesia.
Jika kita menggunakan Konsep Triadic Peirce, jilbab pada zaman tersebut dapat di jabarkan sebagai berikut:
Sense ——– Muslim
Referent ——– Kemenangan Islam terhadap barat, kebanggaan menjadi orang Islam.
Seiring dengan perubahan zaman, walaupun jilbab masih menjadi simbol dari Islam, namun penafsiran terhadap makna jilbab dalam masyarakat Indonesia pun mengalami perubahan. Pada tahun 1990an, jilbab identik dengan perempuan baik-baik yang santun, ramah, berbudaya. Para penggunanya terbatas pada perempuan kalangan yang tinggi tingkat religiusitasnya. Setelah itu, para ibu-ibu pejabat-pun (diikuti oleh Ibu-ibu pejabat bawahanya) berlomba-lomba untuk memakai jilbab untuk menciptakan kesan perempuan yang demikian. Bahkan jilbab telah menjadi tren bagi mereka. Akan ganjil rasanya jika melihat istri pejabat yang beragama Islam untuk tidak menggunakan jilbab.
Menginjak awal abad
ke-21, jilbab telah menjadi sebuah tren dalam dunia mode, dengan
modifikasi di sana-sini (bahkan mungkin telah melenceng dari konsep
dasarnya), para perempuan eksekutif muda dan para ABG pun nyaman untuk
memakainya. Meminjam istilah Dr. Sawirman, saat ini makna jilbab telah
mengalamipseudo/false identity (identitas tipuan) , di mana para
pengguna jilbab ingin untuk menunjukkan kesan sebagai perempuan
baik-baik yang santun, ramah, berbudaya namun disisi lain mereka bukan
perempuan dengan tipe tersebut. Kebutuhan untuk dianggap “baik” di dalam
masyarakatlah yang mendorong sebagian perempuan untuk menggunakan
jilbab. Perda-perda mengenai peraturan penggunaan jilbab di
sekolah-sekolah pun mulai ramai digalakkan di berbagai daerah, terutama
yang mayoritas Muslim penduduknya untuk meningkatkan kesadaran remaja
akan ilmu agama dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (efektifkah
ini?) Jilbab sebagai simbol Islam telah memberi pengaruh besar dalam
kehidupan masyarakat.So, which do you prefer, the veiled one or not?
sumber : http://periwiklehijab.wordpress.com/2012/03/12/jilbab-sebagai-sebuah-simbol/
PENEMU ROKOK KRETEK DI INDONESIA
hem..apakah anda seorang perokok..apakah anda sudah pernah membaca sejarah ditemukan rokok yang biasa anda hisap..kalo belum musti di baca neh..agar anda tak merasa asing dengan sejarah benda yang selama ini nangkring di bibir kita hampir di setiap saat itu, sebagai mana kita mengenal rokok selama ini ada dua macam yaitu rokok filter dan rokok kretek..
Rokok
kretek sendiri pun masih anonim dimana pengertian secara spesifik belum
ada, tetapi sebagian masyarakat menganggap bahwa rokok kretek itu
menggunakan tembakau asli yang dikeringkan dipadukan dengan cengkeh
sehingga ketika dihisap bunyi suara kretek2, yang menjadikan simbol
kenikmatan penikmat rokok. Berbeda dengan rokok yang menggunakan
tembakau buatan, tidak ada suara dan baunya juga agak keras. Masyarakat
sudah memiliki anggapan sendiri. Jenis Cerutu merupakan simbol rokok
kretek yang luar biasa, semuanya alami tanpa ada campuran apapun, dan
pembuatannya tidak bisa menggunakan mesin. Masih manual tangan
pengrajin. Disinilah letak kepuasan tersendiri. Untuk lebih jauh ulasan
tentang sejarah perkretekan di Indonesia bermula dari kota kudus.
Kisah
kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal usul yang akurat
tentang rokok kretek. menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja
pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada
kurun waktu sekitar 1870-1880-an. Awalnya, penduduk asli kudus ini
merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh.
Sakitnya reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan
mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok.
Kala
itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan
modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok
ciptaannya. Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini
kepada kerabat dekatnya. Berita ini menyebar cepat. Permintaan “rokok
obat” ini pun mengalir.
Djamari melayani banyak permintaan rokok
cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan
bunyi “kemeretek“, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan “rokok
kretek“. Awalnya, kretek ini dibungkus “klobot” atau daun jagung kering.
Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10 , tanpa selubung
kemasan sama sekali.
Rokok kretek kian dikenal. Namun tak begitu
dengan penemunya Djamari diketahui meninggal pada 1890. Siapa dia dan
asal-usulnya hingga kini masih remang-remang. Hanya temuannya itu yang
terus berkembang. Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi
dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus.
Bisnis
rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi
terdaftar dengan merek “Tjap Bal Tiga“. Bisa dikatakan langkah
Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di
Indonesia.
Beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok
sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun Haji Djamari dan
Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang
menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh
Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan
Agung menjual rokok “klobot” (rokok kretek dengan bungkus daun jangung
kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu
direkatkan dengan ludahnya.
Awal usaha Kretek
Nitisemito
sendiri seorang buta huruf, dilahirkan dari rahim Ibu Markanah di desa
Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala
desa janggalan. Pada usia 17 tahun ia mengubah namanya menjadi
Nitisemito. Pada usia ini, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk
bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia
mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha
ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai
usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia
kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat
itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di
Kudus.
Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870.
Di warungnya, yang kini menjadi
toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok
temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan
nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung
Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar
warungnya tidak kotor.
Pada awalnya ia mencoba meracik rokok.
Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini
kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat
dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang
keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu
menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan
mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha
ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya “Rokok Tjap Kodok
Mangan Ulo” (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki
malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap
Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek
ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi
dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).
Bal
Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun
beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6
hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan
rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil
(gurem). Diantara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek
Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek
Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis &
Manggis).
Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000
pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian
untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda.
Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera,
Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif
memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker
seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan
Jakarta
Ambruknya rokok kretek Bal Tiga dan Munculnya Pesaing
Hampir
semua pabrik itu kini telah tutup. Bal tiga ambruk karena perselisihan
diantara para ahli warisnya. Munculnya perusahaan rokok lain seperti
Nojorono (1940), Djamboe Bol (1937), Djarum (1950), dan Sukun, semakin
mempersempit pasar Bal Tiga ditambah dengan pecahnya Perang Dunia II
pada tahun 1942 di Pasifik, masuknya tentara Jepang, juga ikut
memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada
tahun 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya dibagi rata pada
ahli warisnya.
Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut sebut juga
karena berdirinya rokok Minak Djinggo pada tahun 1930. Pemilik rokok
ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal Tiga di Pati, Jawa Tengah.
Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho Djie Siong banyak menarik
informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal Tiga dari M. Karmaen,
kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu Nitisemito.
Pada
tahun 1932, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat memindahkan
markasnya ke Kudus. untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan
produk baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa perusahaan
rokok lain yang mampu bertahan hingga kini seperti rokok Djamboe Bol
milik H.A. Ma’roef, rokok Sukun milik M. Wartono dan Djarum yang
didirikan Oei Wie Gwan.
Perusahaan rokok kretek Djarum berdiri
pada 25 Agustus 1950 dengan 10 pekerja. Oei Wie Gwan, mantan agen rokok
Minak Djinggo di Jakarta ini, mengawali bisnisnya dengan memasok rokok
untuk Dinas Perbekalan Angkatan Darat. Pada tahun 1955, Djarum mulai
memperluas produksi dan pemasarannya. Produksinya makin besar setelah
menggunakan mesin pelinting dan pengolah tembakau pada tahun 1967.
Di
era keemasan Minak Djinggo dan di ujung masa suram Bal Tiga, aroma
bisnis kretek menjalar hingga ke luar Kudus. Banyak juragan dan agen
rokok bermunculan. Di Magelang, Solo dan Yogyakarta, kebanyakan pabrik
kretek membuat jenis rokok klembak. Rokok ini berupa oplosan tembakau,
cengkeh dan kemenyan.
Perkembangan industri kretek di daerah di pulau Jawa
Kretek
juga merambah Jawa Barat. Di daerah ini pasaran rokok kretek dirintis
dengan keberadaan rokok kawung, yakni kretek dengan pembungkus daun
aren. Pertama muncul di Bandung pada tahun 1905, lalu menular ke Garut
dan Tasikmalaya. Rokok jenis ini meredup ketika kretek Kudus menyusup
melalui Majalengka pada 1930-an, meski sempat muncul pabrik rokok kawung
di Ciledug Wetan.
Sedangkan di Jawa Timur, industri rokok
dimulai dari rumah tangga pada tahun 1910 yang dikenal dengan PT. HM
Sampoerna. Tonggak perkembangan kretek dimulai ketika pabrik-pabrik
besar menggunakan mesin pelinting. Tercatat PT. Bentoel di Malang yang
berdiri pada tahun 1931 yang pertama memakai mesin pada tahun 1968,
mampu menghasilkan 6000 batang rokok per menit. PT. Gudang Garam, Kediri
dan PT HM Sampoerna tidak mau ketinggalan, begitu juga dengan PT
Djarum, Djamboe Bol, Nojorono dan Sukun di Kudus.
Kini terdapat
empat kota penting yang menggeliatkan industri kretek di Indonesia;
Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Industri rokok di kota ini baik
kelas kakap maupun kelas gurem memiliki pangsa pasar masing masing.
Semua terutapa pabrik rokok besar telah mencatatkan sejarahnya sendiri.
Begitu pula dengan Haji Djamari, sang penemu kretek. Namun riwayat
penemu kretek ini masih belum jelas. Dan kisahnya hidupnya hanya
dekrtahui di kalangan pekerja pabrik rokok di Kudus.
Perlunya Inovasi dalam Pembelajaran
Apabila kita cermati sebuah inovasi akan menimbulkan konsekuensi,
sebuah inovasi jangan dipandang dari sisi negatifnya. Inovasi merupakan hal
yang perlu dilakukan dalam pembelajaran. Permasalahan pendidikan sangatlah kompleks,dari
masalah sumber daya manusia, mutu, metode, sarana prasarana, media dan
sebagainya. Peningkatan mutu pendidikan diperlukan inovasi. Salah satu inovasi
yang dilakukan adalah dengan pembelajaran berbasis alam lingkungan. Pembelajarn
berbasis alam lingkungan ini cocok untuk pembelajaran sains. Obyek yang
dipelajari dalam pembelajaran sains adalah hal-hal yang ada di alam dan
lingkungan sekitar baik hayati maupun non hayati. Dengan pemanfaatan alam dan
lingkungan, maka siswa dapat meningkatkan pemahaman materi pelajaran karena
dapat mengamati secara langsung dan tidak asing dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian siswa lebih tertarik dan termotivasi dalam proses pembelajaran.
Santyasa (2005:5) bahwa pembelajaran inovatif adalah pembelajaran yang bersifat
student centered yang artinya pembelajaran yang lebih memberikan peluang
kepada siswa untuk mengkontruksi pengetahuan secara mandiri dan dimediasi oleh teman sebaya.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran inovatif
dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan menciptakan pembelajaran student
centered. Menurut Marsaja (2007) keunggulan pembelajaran inovatif adalah
1.
Kualitas hasil
belajar yang dicapai menjadi lebih tinggi
2.
Lingkup hasil
belajar menjadi komprehensif
3.
Pembelajaran
inovatif tidak saja menekankan pada hasil belajar kognitif tetapi juga hasil
belajar proses dan sikap.
Rabu, 20 November 2013
Langganan:
Postingan (Atom)